| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |

Wise Coastal Practices for Sustainable Human Development Forum

How societal thinking shapes attitudes to resource exploitation / Indonesia.(+Bahasa Indonesia)

Posted By: Boedhihartono and Nurlini Kasri
Date: Thursday, 14 December 2000, at 11:29 a.m.

In Response To: A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia (+Bahasa Indonesia) (Yoslan Nur)

---------------------------------

(Teks dalam Bahasa Indonesia ada di bawah teks Bahasa Inggris)

MODERATOR'S NOTE: Two contributions relating to resource management in Indonesia have been combined in this posting. The first by Professor Boedhihartono, describes how people's fatalistic thinking and the approach of 'doomsday' shapes the view that environmental devastation is inevitable. The second contribution, by Nurlini Kasri, laments the lack of implementation of the country's marine policy, which may possibly be a consequence of the social thinking described by Professor Boedhihartono.

--------------------------------

Indonesia's environmental setting is archipelagic, situated at the equator, quite populous in some areas and also pluralistic in nature. Those people living close to the inter-insular seas (shallow bays, lagoons and islands surrounded by fringing reefs) benefit, despite minimum technology, from the rich marine resources. But people living adjacent to the open ocean will only benefit from the ocean's resources if they are able to adopt new and sophisticated technology. Otherwise they are obliged to accept their fate and live in poverty. Those people who are living in poverty will likely ravage their environment in order to survive, neglecting and ignoring all possible devastating impacts.

Past, and probably present governments have not tried to educate the population towards a more realistic way of life, nor to convince them that because of globalisation the world is shrinking, that modernization needs hard work, and that we are obliged to support the sustainability of our environment.

Many Indonesians' thinking is being overly influenced by the religious teaching, which was started during President Suharto's time. People are thinking about heaven, fate and doomsday. Devastation of our environment and conflicts between different religious factions are 'fait accompli' that we cannot stop, because this is the beginning of doomsday. To save themselves, they must obediently worship the only God, perform all kind of religious rituals with whatever means and sacrifices. It is ironical because at the same time they cannot resist adopting a new way of life, which urges them to buy electronics, cars, junk foods, etc.

Corruption exists at all levels of the bureaucracy, but in fact the most serious problem for us is the fact that people DO NOT CARE about the consequences of UNCONTROLLED exploitation of the country's resources, including our marine and coastal resources. The Indonesian is becoming a pest to his own environment.

I will give you an example of a devastating project that ravaged hundreds or even thousands of hectares of mangroves. In the seventies, the south Sulawesi government allowed each member of the society to own 2 hectares of mangrove land to be transformed into fish / shrimp ponds. What happened was that one person in authority took more than 100 hectares of mangrove and converted it into a fish/shrimp pond of his own, he married 9 women as is allowed by his religion and he lives leisurely, without feeling guilty. It seems that for him, as long as he obediently practices his religious rituals, then environmental devastation is a part of God's will, and it is only a sign of the fact that doomsday cannot be avoided. Ravaging the mangroves and manipulating government laws are not sins.

Management programmes for coastal regions and small islands must be based on the interests of all stakeholders, and should not be exclusively top-down or bottom-up orientated. Universities, NGOs and agencies must work together to develop an action research agenda, which supports sustainable income-generating activities.

Mr Boedhihartono, Department of Anthropology, University of Indonesia.

--------------------------------

We face many problems in Indonesia, including mangrove degradation and illegal fishing practices. We also see an increased amount of pollution from neighbouring countries. We have ratified the United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS), and we also have legislation on the Economic Exclusive Zone and Government Regulations concerning Marine Pollution (41/1999). However, implementation of our marine policy and enforcement of our marine laws is very difficult within the context of Indonesian society. I wonder whether other countries can give advice on this subject.

Ms Nurlini Kasri,
Ministry of the Environment,
Jakarta, Indonesia.

***********************************************************************

BAGAIMANA GAGASAN MASYARAKAT MEMBENTUK SIKAP TERHADAP EKSPLOITASI SUMBER DAYA / INDONESIA

CATATAN MODERATOR: 2 kontribusi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya di Indonesia dikemukakan dalam 2 artikel pendek ini. Yang pertama oleh DR. Boedhihartono, menjelaskan bagaimana cara berpikir masyarakat yang fatalistik dengan gagasan tentang kiamat membentuk pandangan bahwa kerusakan lingkungan tidak bisa dihindarkan. Kedua sebagai kontibutor adalah Ibu Nurlini Kasri Msc. (ahli hukum) membicarakan kurangnya implementasi kebijakan pemerintah mengenai kelautan, yang mungkin merupakan hasil dari gagasan masyarakat seperti dideskripsikan oleh Boedhihartono.

--------------------------------

Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang terletak di equator, dibeberapa tempat sangat padat penduduknya dan sangat pluralistik. Masyarakat yang tinggal di sekitar pantai inter-insuler (teluk yang dangkal, laguna, dan kepulauan yang dikelilingi oleh terumbu karang ) dapat mengambil keuntungan dari sumber daya laut yang kaya sekalipun dengan teknologi yang relatif terbatas. Tetapi masyarakat yang hidup di pantai laut terbuka (samudera) hanya akan mendapat keuntungan bila mereka mengadopsi teknologi baru atau teknologi canggih. Kalo tidak mereka harus menerima nasib mereka dan hidup dalam kemiskinan. Mereka yang hidup dalam kemiskinan cenderung untuk merambah dan merusak lingkungan sekedar untuk hidup, mengabaikan dan melalaikan semua kemungkinan yang berakibat merugikan.

Pemerintah di masa lalu dan mungkin juga yang sekarang belum mampu mendidik masyarakat untuk hidup lebih realistik. Pemerintah juga belum mampu meyakinkan bahwa akibat globalisasi dunia seolah semakin ciut, bahwa modernisasi menuntut kerja keras dan bahwa kita perlu mendukung kelestarian lingkungan kita.

Kebanyakan cara berpikir bangsa Indonesia masih sangat terpengaruh oleh ajaran agama, yang diawali sejak pemerintahan Soeharto. Masyarakat diajak berpikir tentang surga, nasib dan kiamat. Kerusakan lingkungan dan konflik antar faksi agama adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari sebab ini adalah awal daripada kiamat. Untuk menyelamatkan diri mereka, mereka harus memuja-muja Tuhan, menyelenggarakan segala bentuk tuntutan ritual keagamaan dengan segala cara dan pengorbanan. Adalah suatu ironi sebab pada saat bersamaan, mereka tidak dapat menahan diri untuk mengadopsi cara hidup baru yang merangsang mereka untuk memiliki alat elektronik, mobil, junk food dsb.

Korupsi terjadi diseluruh tingkat birokrasi tetapi lebih parah adalah kenyataan bahwa masyarakat tidak peduli terhadap konsekuensi eksploitasi tak terkendali terhadap sumber daya negara, termasuk sumber daya laut dan pantai. Bangsa Indonesia menjadi hama bagi lingkungannya sendiri.

Saya beri contoh tentang proyek perusahaan yang menghabiskan ratusan atau bahkan ribuan hektar hutan bakau (mangrove). Pada tahun 1970-an pemerintah daerah Sulawesi Selatan mengijinkan masyarakat untuk memiliki lahan hutan bakau masing-masing seluas 2 hektar untuk diubah menjadi tambak udang atau tambak ikan. Apa yang terjadi adalah bahwa seorang pejabat mengambil lebih dari 11 hektar hutan bakau untuk menjadi milik pribadinya, dia memiliki 9 orang istri sebagai diijinkan oleh agamanya, dan dia hidup dengan nyaman tanpa merasa bersalah. Agaknya, untuk dia selama dia menjalankan ibadah keagamaannya dengan patuh, maka kerusakan lingkungan adalah bagian dari kehendak Tuhan, dan kerusakan lingkungan adalah tanda dari awal kiamat yang tidak bisa dihindari. Merambah hutan bakau, memanipulasi peraturan pemerintah bukanlah dosa.

Program-program pengelolaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil harus didasarkan pada kepentingan seluruh pihak yang berkepentingan (stake holder), dan tidak selayaknya secara eksklusif berorientasi top-down (dari atasan kepada bawahan / pemerintah kepada rakyat) atau bottom-up (dari rakyat kepada pemerintah / akar rumput ke penguasa). Universitas, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya harus bekerja sama mengembangkan agenda penelitian aksi yang mendukung kegiatan yang dapat menghidupi masyarakat yang berkesinambungan.

Boedhihartono,
Jurusan Antropologi,
FISIP UI.

--------------------------------

Kita menghadapi banyak masalah termasuk degradasi hutan bakau dan penangkapan ikan secara ilegal. Kita juga melihat peningkatan polusi di negeri-negeri tetangga. Kita turut meratifikasi undang-undang kelautan bangsa-bangsa (UNCLOS), dan kita memiliki undang-undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan polusi laut (41/1999). Tetapi implementasi kebijakan laut dan pengkukuhan hukum laut kita sangat sukar dilaksanakan dalam konteks masyarakat Indonesia. Saya mempertanyakan apakah negara lain dapat memberikan nasihat atau saran dalam hal ini terhadap Indonesia.

Nurlini Kasri,
Kementrian Lingkungan Hidup,
Jakarta, Indonesia.

Messages in This Thread

SEND YOUR REACTION/RESPONSES TO THE .

| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |